Fikih Utang Piutang (Bag. 3)
Sebelumnya, telah dibahas dan dipaparkan hukum utang piutang, baik hukum yang sifatnya taklifi maupun wadh’i. Adapun pada pembahasan kali ini, kita akan mengerucut kepada fikih utang piutang yang berkaitan dengan rukun dan syarat dalam utang piutang.
Rukun utang piutang
Setidaknya, dalam utang piutang ada tiga rukun [1],
Pertama, dua orang yang berakad
Yang pertama disebut dengan المُقْرِضُ (pemberi utang) dan juga المُقْتَرِضُ (pengutang). Tentunya, dalam akad utang piutang diharuskan ada keduanya.
Kedua, harta yang dipinjamkan
Yakni harta atau uang yang dipinjamkan kepada peminjam. Tentu ini sebagai objek dari akad utang piutang dan harus ada dalam akad utang piutang.
Ketiga, shigat
Shigat biasa disebut dengan ijab dan qabul. Hal ini termasuk ditekankan di dalam mazhab Syafi’i. Dalam akad utang piutang, bisa digunakan dua lafaz shigat seperti,
أَقْرَضْتُكَ “Aku meminjamkan padamu.”
Atau menggunakan lafaz salaf atau salam, أَسْلَفْتُكَ “Aku menyerahkan uang di muka, untuk barang yang akan engkau berikan nanti.”
Kedua-duanya boleh untuk digunakan dalam berutang. Boleh juga dengan menggunakan lafaz-lafaz yang memang sudah biasa digunakan di dalam kebiasaan masyarakat. Biasanya seperti, “Silahkan ambil uang ini, dan kembalikan nanti sesuai dengan nominalnya.” Atau dengan lafaz-lafaz yang semisal.
Dengan akad tersebut, maka kepemilikan harta otomatis berpindah kepada peminjam. Hal ini disebutkan oleh Imam Malik dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah. Karena keridaan dalam akad ini menjadi patokan dalam pemindahan kepemilikan harta dari satu pihak kepada yang lain berdasarkan firman Allah Ta’ala untuk menunaikan janji atau akad. Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji (akad).” (QS. Al-Maidah: 1)
Karenanya, jika seseorang telah berakad, dalam hal ini masalah utang piutang dan nominal pinjaman dan jangka waktunya telah ditentukan (disepakati), maka tidak boleh bagi yang meminjamkan untuk meminta dikembalikan langsung atau sebelum jatuh tempo. Mengingat hal itu bukanlah termasuk dari menunaikan perintah Allah untuk memenuhi janji.
Syarat sah utang
Setidaknya ada tiga syarat sah utang yang harus terpenuhi [2],
Pertama, mengetahui kadar utang dan dapat disifati
Artinya, utang dapat diketahui kadarnya. Baik secara timbangan, nominal, jumlah, besar kecilnya, dan lain sebagainya. Agar utang dapat dikembalikan secara pas. Karena kalau tidak diketahui secara pasti, akan terjadi gharar (ketidakjelasan) dalam jumlah yang harus dikembalikan.
Kedua, pemberi utang haruslah memenuhi syarat transaksi tabarru’ (penderma)
Berikut ini adalah syarat-syaratnya,
Baligh: Syarat pertama adalah baligh. Maka tidak sah secara mutlak jika dilakukan oleh bayi atau balita yang belum memasuki usia tamyiz. Kalaupun sudah memasuki usia tamyiz, maka tidak sah pula kecuali sifatnya utang piutang yang ringan saja. Oleh karena itu, termasuk dalam hal ini adalah tidak boleh bagi wali anak yatim untuk meminjam harta anak yatim untuk kebutuhan pribadi atau selain dari keperluan yang manfaatnya kembali kepada anak yatim tersebut. Karena anak yatim masih dalam kategori di bawah usia baligh.
Berakal: Syarat kedua yaitu berakal. Tidak sah hukumnya jika meminjam harta kepada orang yang dalam keadaan gila. Karena ia tidak mengetahui bagaimana cara bertransaksi.
Merdeka: Syarat ketiga adalah merdeka. Tidak sah pula hukumnya jika meminjam harta dari seorang budak kecuali atas izin dari tuannya. Dan tentang perbudakan, saat ini sudah tidak ada dalam dunia Islam.
Rasyid: Syarat keempat yaitu cerdas. Orang yang bodoh dalam bertransaksi, dia tidak sah dalam melakukan akad utang piutang, kecuali dalam hal-hal yang ringan.
Memiliki: Syarat yang terakhir adalah memiliki. Jika tidak memiliki harta atau yang sejenisnya, tidak boleh untuk melakukan akad utang piutang kecuali dengan izin pemilik.
Ketiga, tidak mengandung unsur riba
Ini termasuk syarat yang penting dalam masalah akad utang piutang. Yaitu tidak mengandung unsur riba. Artinya, tidak ada tambahan manfaat yang diberikan oleh pengutang kepada pemberi utang. Baik manfaat tersebut berupa tambahan nominal atau yang lainnya.
Sebagaimana yang diketahui bahwa di dalam Islam, riba adalah sesuatu hal yang diharamkan. Allah mensifati riba dengan menggunakan kata mahq (hancur). Allah Ta’ala berfirman,
يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ
“Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas,
يُخْبِرُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ يَمْحَقُ الرِّبَا، أَيْ: يُذْهِبُهُ، إِمَّا بِأَنْ يُذْهِبَهُ بِالْكُلِّيَّةِ مِنْ يَدِ صَاحِبِهِ، أَوْ يَحْرمَه بَرَكَةَ مَالِهِ فَلَا يَنْتَفِعُ بِهِ، بَلْ يُعَذِّبُهُ بِهِ فِي الدُّنْيَا وَيُعَاقِبُهُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Allah Ta’ala mengabarkan bahwasanya Allah akan menghilangkan riba, maksudnya adalah menghilangkannya secara menyeluruh dari tangan pemiliknya, atau menjauhkan pemiliknya dari keberkahan dan pemanfaatan hartanya. Bahkan Allah akan mengazab pemiliknya dengan sebab hartanya di dunia dan akan menghukumnya di hari kiamat kelak.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Sehingga seorang muslim hendaknya berhati-hati dalam transaksi yang berkaitan dengan utang piutang. Menjauhkan diri dari riba tentu menjadi fokus utama dalam transaksi ini. Agar harta yang dimiliki menjadi berkah dan tidak ada keharaman padanya.
Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.
[Bersambung]
***
Depok, 27 Muharam 1447/ 22 Juli 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud.
Shahih Fiqh Sunnah (Jilid 5), karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Prof. Dr. Khalid bin Ali Al-Musayqih.
Catatan kaki:
[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 191.
[2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 192 dan Al-Mukhtashor fil Mu’amalat, hal. 98-99.
Artikel asli: https://muslim.or.id/107943-fikih-utang-piutang-bag-3.html